[Artikel] Cerita Rakyat Jawa Barat







 
Cerita Rakyat Sangkuriang - Sebelumnya saya telah Posting Cerita Rakyat Malin Kundang dan Cerita Bahasa Inggris, kali ini saya akan Posting Cerita Rakyat Sangkuriang.
Cerita Rakyat Sangkuriang ini memang sudah tidak asing lagi ditataran sunda karena Cerita Rakyat ini berasal dari Jawa Barat dan awal Cerita dari Tangkuban Perahu. Okelah langsung saja untuk membaca Cerita Rakyat Sangkuriang dan semoga dapat menjadi sebuah referensi tugas anda.


Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.

 Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. 

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.

Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu. Keajaiban di Pasar Senen



Legenda Danau Situ Bagendit



Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, ada seorang janda muda yang kaya raya dan tidak mempunyai anak. Hartanya yang melimpah ruah dan rumah sangat besar yang ditempatinya merupakan warisan dari suaminya yang telah meninggal dunia. Namun sungguh disayangkan, janda itu sangat kikir, pelit, dan tamak. Ia tidak pernah mau memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan. Bahkan jika ada orang miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, ia tidak segan-segan mengusirnya. Karena sifatnya yang kikir dan pelit itu, maka masyarakat di sekitarnya memanggilnya Bagenda Endit, yang artinya orang kaya yang pelit.
Selain memiliki harta warisan yang melimpah, Bagende Endit juga mewarisi pekerjaan suaminya sebagai rentenir. Hampir seluruh tanah pertanian di desa itu adalah miliknya yang dibeli dari penduduk sekitar dengan cara memeras, yaitu meminjamkan uang kepada warga dengan bunga yang tinggi dan memberinya tempo pembayaran yang sangat singkat. Jika ada warga yang tidak sanggup membayar hutang hingga jatuh tempo, maka tanah pertaniannya harus menjadi taruhannya. Tak heran jika penduduk sekitarnya banyak yang jatuh miskin karena tanah pertanian mereka habis dibeli semua oleh janda itu.
Suatu hari, ketika Bagende Endit sedang asyik menghitung-hitung emas dan permatanya di depan rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan tua yang sedang menggendong bayi datang menghampirinya.“Bagende Endit, kasihanilah kami! Sudah dua hari anak saya tidak makan,” kata perempuan itu memelas.“Hai perempuan tua yang tidak tahu diri! Makanya, jangan punya anak kalau kamu tidak mampu memberinya makan! Enyahlah kau dari hadapanku!” bentak Bagende Endit.
Bayi di gendongan perempuan itu pun menangis mendengar suara bentakan Bagende Endit. Karena kasihan melihat bayinya, pengemis tua itu kembali memohon kepada janda kaya itu agar memberikan sesuap nasi untuk anaknya. Tanpa sepatah kata, Bagende Endit masuk ke dalam rumah. Alangkah senangnya hati perempuan tua itu, karena mengira Bagende Endit akan mengambil makanan.“Cup... cup... cup...! Diamlah anakku sayang. Sebentar lagi kita akan mendapatkan makanan,” bujuk perempuan itu sambil menghapus air mata bayinya.
Tak berapa lama kemudian, Bagende Endit pun keluar. Namun, bukannya membawa makanan, melainkan sebuah ember yang berisi air dan tiba-tiba Bagende Endit menyiramkannya ke arah perempuan tua itu.
“Byuuurrr...! Rasakanlah ini hai perempuan tua!” seru Bagende Endit.
Tak ayal lagi, sekujur tubuh perempuan tua dan bayinya menjadi basah kuyup. Sang bayi pun menangis dengan sejadi-jadinya. Dengan hati pilu, perempuan tua itu berusaha mendiamkan dan menyeka tubuh bayinya yang basah kuyup. Melihat perempuan tua belum juga pergi, janda kaya yang tidak berpesan itu semakin marah. Dengan wajah garang, ia segera mengusir perempuan tua itu keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah perempuan tua itu pergi, Bagende Endit kembali masuk ke dalam rumahnya. Keesokan harinya, beberapa warga datang ke rumah Bagende Endit meminta air sumur untuk keperluan memasak dan mandi. Kebetulan di desa itu hanya janda kaya itulah satu-satunya yang memiliki sumur dan airnya pun sangat melimpah. Sementara warga di sekitarnya harus mengambil air di sungai yang jaraknya cukup jauh dari desa.
“Bagende Endit, tolonglah kami! Biarkanlah kami mengambil air di sumur Bagende untuk kami pakai memasak. Kami sudah kelaparan,” iba seorang warga dari luar pagar rumah Bagende Endit.“Hai, kalian semua! Aku tidak mengizinkan kalian mengambil air di sumurku! Jika kalian mau mengambil air, pergilah ke sungai sana!” usir Bagende Endit.
Para warga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, mereka pun terpaksa pergi ke sungai untuk mengambil air. Tak berapa lama setelah warga tersebut berlalu, tiba-tiba seorang kakek tua renta berdiri sambil memegang tongkatnya di depan rumah Bagenda Endit. Kakek itu juga bermaksud untuk meminta air tapi hanya untuk diminum. “Ampun Bagende Endit! Berilah hamba seteguk air minum. Hamba sangat haus,” iba Kakek itu.Bagende Endit yang sejak tadi sudah merasa kesal menjadi semakin kesal melihat kedatangan kakek tua itu. Tanpa sepata kata pun, ia keluar dari rumahnya lalu menghampiri dan merampas tongkat sang kakek. Dengan tongkat itu, ia kemudian memukuli kakek itu hingga babak belur dan jatuh tersungkur ke tanah. Melihat kakek itu tidak sudah tidak berdaya lagi, Bagende Endit membuang tongkat itu di samping kakek itu lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Sungguh malang nasib kakek tua itu. Bukannya air minum yang diperoleh dari janda itu melainkan penganiayaan. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, kakek itu berusaha meraih tongkatnya untuk bisa bangkit kembali. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, kakek itu menancapkan tongkatnya di halaman rumah Bagende Endit. Begitu ia mencabut tongkat itu, tiba-tiba air menyembur keluar dari bekas tancapan tongkat itu. Bersamaan dengan itu, kakek itu pun menghilang entah ke mana.
Semakin lama semburan air itu semakin besar dan deras. Para warga pun berlarian meninggalkan desa itu untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Bagende Endit masih berada di dalam rumahnya hendak menyelamatkan semua harta bendanya. Tanpa disadarinya, ternyata air telah menggenangi seluruh desa. Ia pun berusaha untuk menyelamatkan diri sambil berteriak meminta tolong.
“Tolooong.... Toloong... Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Bagende Endit meminta tolong sambil menggendong sebuah peti emas dan permatanya.
Bagende Endit terus berteriak hingga suaranya menjadi parau. Namun tak seorang pun yang datang menolongnya karena seluruh warga telah pergi meninggalkan desa. Janda kaya yang pelit itu tidak bisa lagi menyelamatkan diri dan tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya. Semakin lama, desa itu terus tergenang air hingga akhirnya lenyap dan menjadilah sebuah danau yang luas dan dalam. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Situ Bagendit. Kata situ berarti danau yang luas, sedangkan kata bagendit diambil dari nama Bagende Endit.
Asal Usul Telaga Warna
 
Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya hidup tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan tenteram.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang diberinama Gilang Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia sangat sedih melihat kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga istana pun basah oleh air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang deras, makin lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan tenggelam dan terciptalah sebuah danau yang sangat indah.
Di hari yang cerah, kita bisa melihat danau itu penuh warna yang indah dan mengagumkan. Warna itu berasal dari bayangan hutan, tanaman, bunga-bunga, dan langit di sekitar telaga. Namun orang mengatakan, warna-warna itu berasal dari kalung Putri yang tersebar di dasar telaga



 

Pada jaman dahulu di daerah jawa barat ada seorang lelaki yang sangat kaya. Seluruh sawah dan lading di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya menjadi buruh tani penggarap sawah dan lading lelaki kaya itu. Orang kaya itu oleh penduduk desa dijuluki Pak Kikir karena memang dia adalah orang yang sangat kikir. Kekikirnya Pak kikr tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun dia juga sangat pelit.
Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu. Anak Pak Kikir itu berwatak baik. Tanpa sepengetahuan ayahnya, sering dia membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran denga baik pula. Takut jika panen berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua warga desa diundang oleh Pak Kikir. Penduduk desa mengira akan mendapatkan makanan yang enak dan lezat dalam selamatan itu. Perkiraan itu meleset, ternyata Pak Kikir hanya menyediakan hidangan ala kadarnya, itupun tidak cukup untuk menjamu seluruh orang yang diundang. Banyakdinatara undangan yang tidak mendapat makanan. Mereka akhirnya hanya dapat mengelus dada atas sikap Pak Kikir yang lagi-lagi terbukti kikir.
” huh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakana makanan, sungguh keterlaluan, buat apa hartanya yang segudang itu”
”Tuhan tidak akana memberikan berkah pada jartanya yang banyak itu”
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, yiba-tiba datanglah seorang nenek tua renta yang meminta sedekah pda Pak Kikir.
”Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi…”rintih nenek tua itu
”Apa sedekah? Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
”Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu......??”
”Tidak! Cepat pergi dari sini, kalau tidak aku akan suruh tukung pukulku untuk meghajarmu!!”

Nenek itu nampak mengeluarkan air mata.
Demikianlah nenek tua itu tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir sevcara kasar oleh Pak Kikir. Dia segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir.
Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih. Diam-diam dia mengambil jatah makan siangnya, lalu dikejarnya nenek yang sudah sampai di ujung desanya itu, diberikannya makanan itu kepada si nenek.
Nenek itu merasa sangat bergembira ” sengguh baik engkau nak, semoga kelak hidupmu menjadi mulia”
Setelah si anak muda itu pergi, si nenek melanjutkan perjalanannya. Sampailah dia di sebuah bukit dekat desa, dia berhenti sejenak. dilihatnya rumah milik Pak Kikir yang palling besar dan megah di desa itu. Sementara penduduk sekelilingnya menderita katrena ketamakan Pak Kikir.
Karena melihat kelakukan Pak Kikir itu, si nenek marah dan berkata ” ingat-ingatlah Pak Kikir, keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkan dirimu sendiri. Tuhan akan menimpakan hukuman kepadamu”
Nenek itu lalu menancapkan tongkatnya di tanah, lalu dicabutnya lagi. Dari lubang tancapan itu memancar air yang sangat deras. Makin lama air itu makin besar dan menuju ke desa.
“Banjir!” “Banjirrr!!!!!” teriak orang-orang desa yang mulai panic melihat datangnya air bah dari lembah itu.
Anak Pak Kikir segera menganjurkan orang-orang agar segera meninggalkan desa dan lari ke atas bukit.
“cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit yang aman”
“Tapi sawah dan ternak kita bagaimana?”
“Kalian pilih harta atau jiwa? Sudah tidak ada waktu untuk membawa harta lagi”
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa. Ia juga membujuk ayahnya agar segera keluar rumah.
”ayah cepat tingga;lkan rumah ini, kita harus segera keluar menyelamatkan diri”
”Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanan dulu”
Karena tidak ada waktu anak Pak Kikir segera berlari menyelamatka diri, sementara Pak Kikir terus mengumpulkan harta bendanya. Dia terlambat menyelamatkna diri, akhirnya tenggelam dalam arus air bah.
Sebagian besar penduduk desa termasuk putera Pak Kikir selamat. Mereka sedih melihat desanya tenggelam. Kemudian mereka memutuskan untuk mencari daerah baru. Mereka mengangkat anak Pak Kikir sebagai pemimpin desa mereka yang baru.
Putera Pak Kikir lalu menganjurkan penduduk untuk mengolah tanah yang telah dibagi rata. Pimpinan desa baru itu mengajari penduduk menanam padi dan bagaimana mengairi sawah secara baik. Desa itu kemudian disebut desa Anjuran, penduduk desa selalu mematuhi anjuran pimpinannnya.
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para petani dalam mengolah sawah, maka sampai sekarang ini bersa Cianjur dikenal sangat enak dan gurih.

Read More